Menu

Mode Gelap
Dilantik, Berikut Susunan Kepengurusan PCNU Kota Bandung Masa Khidmah 2024-2029 PCNU Kota Bandung 2024-2029 Gelar Pelantikan di Pesantren Nurul Iman Cibaduyut Perkuat Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, PCNU Kota Bandung Kunjungi MWC dan Ranting

Hikmah · 8 Apr 2024 23:25 WIB

Idul Fitri: Kembali Menjadi Mukmin Sejati


 Idul Fitri: Kembali Menjadi Mukmin Sejati Perbesar

Rasululla SAW dalam sebuah hadits bersabda, betapa banyak orang puasa, tetapi tidak mendapatkan hikmah sedikitpun dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Dalam konteks hadits ini, Rasul mengajak kita untuk melakukan evaluasi terhadap rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama ramadhan serta mencari sebab kegagalan puasa yang kita laksanakan.

Kegagalan meraih makna dan hakikat ramadhan, tentunya membuat kita kehilangan keistimewaan ramadhan itu sendiri. Bulan ramadhan menjadi tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Bulan ramadhan menjadi istimewa karena bulan tersebut memberikan kesempatan kepada kita untuk mengistimewakan nurani dan fitrah kita sebagai seorang manusia. Kesucian ramadhan sangat bergantung pada bagaimana seseorang berupaya menyucikan dirinya dalam ragam “penyucian diri” selama ramadhan. Oleh karena itu, di bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak berbagai amal shaleh agar menjadi orang yang takwa sebagai perwujudan mukmin yang sejati (Q.S. Al-Baqarah, 2: 287).

Takwa dalam Islam terekspresi menjadi dua hal fundamental. Pertama, sebagai seorang `abd (hamba) sebagaimana firman Allah, “tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. al-Dzariyat, 27: 56). Kedua, sebagai khalifatullah, wakil Allah di muka bumi sebagaimana firman-Nya, “sesungguhnya Aku menciptakan di bumi seorang khalifah (pengganti, wakil)” (Q.S. al-Baqarah, 2: 30).

Tidak semua orang mampu memadukan dua tugas mulia tersebut dalam kehidupannya. Kenyataan membuktikan, dimensi khalifah terputus dalam kehidupan publik. Mayoritas umat cenderung membatasi diri sebagai `abd (hamba Allah). Hal demikian mungkin disebabkan kurangnya pemahaman, miskin keteladanan atau lingkungan yang tidak kondusif. Akibatnya, kesalehan hanya diukur dengan intensitas hubungan dengan al-Khaliq semata.

Kecenderungan ini bukannya negatif, namun perlu disempurnakan. Membangun peradaban Islam masa depan tidak mungkin hanya dengan mengandalkan dimensi `abd saja. Mukmin yang sejati harus bisa memadukan dengan seimbang antara dimensi ‘abd dan khalifah dengan enam indikator sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Q.S. al-Mukminun, 18: 1-11).

Pertama, khusyu` dalam shalat. Betul-betul memanfaatkan shalat sebagai momentum munajat kepada Allah SWT, mengakui segala dosa yang dilakukan, memohon ampunan dan rahmat-Nya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bertambah keyakinan dan optimisnya dalam menghadapi tantangan hidup. Dia merasa Allah selalu dekat dengannya dalam keadaan apapun.

Kedua, menghindari kesia-siaan, baik ucapan maupun perbuatan. Dia betul-betul menjaga waktu agar selalu bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Waktu digunakan untuk belajar serius mengejar keterbelakangan, kerja keras untuk mencapai kemakmuran, shilaturrahim membangun ukhuwwah, membantu orang lain dan gemar bersedekah demi kemajuan umat. Penghargaan waktu, disiplin dan profesionalisme merupakan kata kunci suksesnya. Kalau kita sadar bahwa sedetik waktu akan sangat menentukan masa depan agama, niscaya kita tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

Ketiga, menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial. Tidak egois dan juga tidak apatis terhadap problem umat. Kemajuan umat zaman dulu disebabkan nuansa kekeluargaan yang erat kepada sesama, menganggap orang lain sebagai saudara sehingga harus disantuni, diberdayakan dan diperjuangkan hak-haknya.

Keempat, orang-orang yang selamat moral-etiknya dari anekaragam gangguan syahwat yang menggiurkan. Saat ini, syahwat merupakan fenomena global yang sulit terbendung. Aneka ragam media, baik cetak maupun elektronik, mengumbar eksploitasi wanita tanpa batas. Akibatnya muncul kejahatan dengan kekerasan seksual. Di saat seperti inilah, orang mukmin selalu waspada menjaga diri dan keluarganya dari bahaya fitnah duniawi.

Kelima, orang-orang yang menjaga amanah (tanggung jawab) dan janji. Amanah dan janji mukmin di dunia adalah mempersembahkan yang terbaik kepada Allah dan sesama manusia. Perbuatan, perkataan, sikap perilaku dan sepak terjangnya mencerminkan konsistensi dan komitmen besar pada dua hal ini. Sabda Nabi, “la dina liman la amanata lahu”, tidak ada agama bagi orang yang tidak tanggung jawab.

Sekarang, fenomena penyalahgunaan amanah sudah sangat telanjang. Jabatan, kekuasaan dan status sosial bukan wahana pengabdian, tapi kesempatan menumpuk-numpuk harta, kekayaan, popularitas dan publisitas. Itu akan dipertahankan dengan cara apapun. Krisis moral ini harus segera direformasi demi keselamatan dan kemajuan bangsa ke depan.

Keenam, orang-orang yang menjaga shalatnya (istiqomah). Artinya, orang-orang yang selalu meningkatkan diri setiap detik waktu, tidak merasa cepat puas dengan apa yang diraih, selalu berusaha dan berusaha menuju kesempurnaan. Shalat adalah lambang kehambaan seseorang kepada rabb al-izzah. Pengaruh shalat berupa `tanha an al-fakhsya` wa al-munkar` (terhindar dari perbuatan keji dan munkar) menuju khaira ummah (sebaik-baik ummat) terpancar dalam kepribadiannya. Lebih jauh lagi, seluruh sepak terjangnya dalam aspek pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik tersinari oleh cahaya Ilahi. Kekuatan ruhiyah ini diharapkan dapat menyelamatkan mereka dari korupsi, eksploitasi, dan manipulasi.

Maka mari kita jaga keenam hal dia atas, sebagai bukti takwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu. Karena puasa bukanlah sekedar menunaikan rukun formal, tetapi dalam konteks yang lebih luas, puasa merupakan upaya pengendalian diri dari seluruh kecenderungan sifat dan perilaku yang negatif untuk mewujudkan insan muttaqin, sosok mukmin sejati. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Artikel ini telah dibaca 13 kali

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Baca Lainnya

Hikmah Hijrah Nabi

6 Juli 2024 - 17:12 WIB

Warna Tradisi Idul Fitri

8 April 2024 - 22:33 WIB

Menebar Kasih Sayang di Bulan Ramadhan

4 April 2024 - 05:06 WIB

Lailatul Qodar, Momen Penentuan

28 Maret 2024 - 00:19 WIB

Rumus “Basi” Para Leluhur, Memaknai Arti Sebuah Kepemimpinan

23 Maret 2024 - 22:46 WIB

Ramadhan Bulan Ukhuwah

22 Maret 2024 - 21:15 WIB

Trending di Hikmah
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x