Islam pernah mengalami masa keemasan sekitar tahun 650-1200 Masehi. Umat Islam pada periode ini disebut sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup tiga benua. pada umumnya kelemahan Dunia Islam terletak pada berbagi sektor kehidupan, terutama sektor ekonomi dan politik, namun penyebab yang paling mendasar adalah rapuhnya fondasi intelektual yang bila dilacak lebih lanjut akan bermula dari bidang pendididkan (Nata, 2010: 46).
Terbukti pada abad 12 Hijriah konsep pendidikan hanya berpijak kepada: pertama, terfokus pada syarah (penjelasan dari kitab asli) dan mukhtashar (ringkasan dari kitab asli); kedua, penulisan hanya beberapa bidang saja; ketiga, tren bermazhab dan bertasawuf dalam pendidikan (al-Kaelani, 1985: 238). Dilihat dari pendapat al-Kaelani tersebut terjadi stagnasi pemikiran hanya berkutat pada penjelasan dan ringkasan karya orang lain, tidak mencipta karya yang orisnil. Salah satu contohnya dalam bidang fikih, kitab Taqrîb disyarahi oleh kitab Fath al-Qarîb dan di beri hâsyiah oleh kitab al-Bajurî.
Ada pendapat yang menarik salah satu penyebab tidak majunya Islam menurut Abu ‘Ala Al-Maududi (Al-Kaelani, 1985: 240) yaitu tidak difungsikannya secara optimal ranah al-Sama’, al-Bashar dan Fu’âd sabagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Nahl ayat 78 yang artinya:
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”
Al-Sam’a berfungsi untuk mendapatkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh orang lain, al-Bashar berfungsi untuk mengembangkan hasil dari uraian dan analisis, sedangkan hati (fu’âd) untuk memfilter kekeliruan dan kesalahan dalam membuat kesimpulan. Tiga ranah ini telah difungsikan dengan baik oleh Mesir kuno, Yunani dan Eropa kini.
Muslim pasti mengetahui ayat tersebut bahkan mungkin hapal, namun kita tidak memfungsikan ketiga ranah tersebut, nampaknya kita tidak bersyukur secara baik seperti yang diisyarakan pada akhir ayat al-Nahl 78 tersebut. Oleh karena itu Penulis akan mengulas tentang Syukur.
Kata syukur adalah bentuk masdar dari kata syakara-yasykuru-syukran wa syukûran yang mengandung makna antara lain pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu (Shihab, 2007:3:264). al-Ashfahani (tt: 272) berpendapat syukur adalah gambaran nikmat dan menampakannya. Terambil dari kata al-syukru yang artinya membuka. Lawan dari syukur adalah al-kufru yakni melupakan nikmat dan menutupinya. Kata syukur ditemukan sebanyak 75 kali tersebar dalam berrbagai ayat dan surah di al-Qur’an.
Selain syukur kita selalu mendengar syukuran. Syukuran terdapat dalam surat al-Furqon ayat 62 digunakan ketika Allah menggambarkan bahwa Allah yang telah menciptakan malam dan siang silih berganti serta menjadi pelajaran bagi manusia dan yang hendak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Syukuran yang kedua terdapat dalam surat al-Insan ayat 9 yang digunakan ketika Allah menggambarkan pernyataan orang-orang yang berbuat kebajikan serta telah memberi makan kepada fakir dan miskin untuk mendapatkan keridhoan Allah (Shihab, 2007: 965). Oleh karena itu wajar kita selalu mengadakan syukuran ketika mendapat nikmat.
Syukur menurut al-Asfahani (t.t.: 272) terbagi tersusun dalam tiga bagian yaitu pertama, syukur qalbi yaitu penggambaran nikmat yakni tahu bahwa nikmat dari Allah; kedua, syukur lisân yaitu memuji kepada Allah atas nikmat yang diberikan, selain itu juga berterimaksih kepada orang yang telah menjadi perantara akan nikmat tersebut seperti tercantum pada surat Luqman ayat 14; ketiga, syukur jawârih yaitu menggunakan nikmat yang diberikan sesuai dengan fungsinya.
Dengan demikian apabila kita bersyukur dengan seoptimal mungkin dalam arti bukan hanya tahu dan memuji tetapi menggunakan nikmat, sebagaimana pendapat al-Maududi mengoptimalkan fungsi al-sam’a, al-bashar dan fuâd maka akan menjadi solusi dari masalah keterpurukan Dunia Islam khususnya dalam ilmu pengetahuan, Wallâhu A’lam.