Perbincangan tentang saling membid’ahkan terhadap amalan muslim lain serta saling menyesatkan bahkan sampai saling mengkafirkan yang awalnya dibicarakan di majelis-majelis taklim mereka namun karena dibagikan di media sosial terutama di You Tube atau Instagram maka menjadi perbincangan “yang hangat” di masyarakat, tidak jarang dari kelompok yang dituduh bid’ah atau dikafirkan memberi pembelaan baik secara ilmiah ataupun sacara emosional sehingga menimbulkan hujatan-hujatan yang tidak pantas.
Perdebatan masalah takfiri ini memang sudah terjadi terutama setelah perang Siffin, peperangan antara Khalifah Ali dengan Muawiyah. Khalifah Ali yang akan memenangkan peperangan namun Amar bin al ash mengangkat Al-Qur’an dan menawarkan arbitrase, Alipun menerima tawaran itu. Kemudian dikirimkan dua utusan dari pihak Ali bin Abi Thalib adalah Abu Musa Al-Asy’ari sedangkan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Al Ash. Abu Musa Al-Asy’ary yang lebih tua mengumumkan kejatuhan Khalifa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, namun pada waktu Amr bi Ash maju, Amr bin Ash hanya mejatuhkan Ali bin Abi Thalib dan menolak kejatuhan Muawiyah, akibat dari arbitrase ini maka Ali bin abi thalib turun dari Khalifah dan Muawiyah kedudukannya Gubernur menjadi khlifah yang tidak resmi, maka wajarlah Ali bin Abi thalib menolak keputusan arbitrase itu karena tipu muslihat Amr bi Al ash (Nasution, 2011:7).
Setelah peristiwa tersebut maka ada pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui keputusan Ali menerima tawaran arbitrase tersebut walaupun secara terpaksa. Kelompok tersebut beralasan bahwa arbitrase adalah hukum dari manusia bukan hukum dari Allah swt. Mereka memandang bahwa Ali telah berbuat salah oleh karena itu mereka keluar dari kelompok Ali bin abi Thalib maka disebut kaum Khowarij. Permaslahan yang diangkat oleh Khowarij adalah mereka yang menerima arbitrase terutama Ali bin Abi thalib, Muawiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah orang yang salah karena tidak memakai hukum Allah swt.
Permasalahan yang awalnya adalah permasalahan politik beralih menjadi permasalahan teologi, permasalahan tersebut adalah apakah yang tidak memakai hukum Allah adalah Kapir atau masih mukmin? ditambah permaslahan apakah yang melakukan dosa besar masih disebut mukmin atau sudah kapir?
Permaslahan teologi tersebut terpecah menjadi tiga mazhab besar yaitu Pertama, Khawarij yang bepandangan orang yang berbuat dosa besar sudah kafir. Kedua, Murji;ah yang berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih mukmin dan dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt. Ketiga, Muktazilah yang berpandangan bahwa orang berbuar dosa besar tidak termasuk mukmin dan juga tidak termasuk kapir (Nasution:2011:8).
Permaslahan takfiri ini terus berlanjut bahkan Imam al-Ghozalipun dituduh kapir oleh kelompok lain. Untuk membantah dan menjelaskan tentang takfiri ini maka imam al-Ghozali menulis kitab yang berjudul Faesol tafriqoh baena Islam wa Zandaqoh. Dalam kitab tersebut Al Ghozali memberikan penjelasan agar tidak mudah untuk mengatakan kafir kepada pihal lain. Penulis tertarik dengan pandangan dalam kitab tersebut untuk menjadi salah satu solusi dari pandangaan takfiri yang membuat perpecahan pada umat Islam akhir-akhir ini.
Al-Qur’an dan Al-Hadis Sumber Masalah?
Saling membid’akan dan mengkafrika atau takfiri, semuanya Mengklaim berlandaskan al-Qur’an dan Hadis. Bahkan ayat yang menjadi landasannyapun sama, dengan pemahaman masing-masing, namun masing-masing mengangap paling benar.
Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan sumber utama pertama dan kedua bagi umat Islam. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada bulan Ramdhan sebagaiman Allah berfirman dalam surat al-Baqoroh ayat: 184:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). ……..”
Dalam surat al Baqoroh ayat 2 Allah berfirman:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,”
Adapun hadis sebagai sumber dan pedoman kedua bagi umat muslim sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 7:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“… apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Al-Qur’an dan hadis bila dilihat dari segi kekuatan sebagai dalil maka terbagi dua bagian (Djajuli: 2005:60). Pertama Qothiy, bagian ini terbagi kepada dua bagian, Qothiy Wurud yaitu dalil yang menyakinkan bahwa datangnya dari Allah (al-Qur’an) dan datang dari Nabi Muhamad (al-Hadis). Al-Qur’an seluruhnya qothiy sedangkan hadis tidak semua. Dan Qothiy Dilalah yaitu dalil yang kata-katanya jelas, menunjukan satu arti tidak bisa dipahamkan lain. Kedua Dhoni juga terbagi dua, Dhoni wurud yaitu dalil yang memberi sangkaan kuat bahwa datangnya dari Nabi seperti hadis ahad, sedangkan al-Qur’an tidak ada yang dhoni wurud. Kemudian Dhoni dilalah yaitu ungkapan kata-katanya yang masih mengandung makna Dalam hal ini al-Qur’an dan hadis ada yang dhoni dilalah.
Pembagian tersebut memberikan penjelasan bahwa al-Qur’an dan hadis bisa berbeda pemahamannya terutama dalam dhoni dilalah. Perbedaan pemahamna itu bisa terjadi pada i’tiqodiyah, juga dalam hukum amaliyah. Sebagai contoh dalam surat thaha ayat 5:
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
”(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas ʻArasy.”
Ayat di atas menjadi perdebatan apakah Allah ada secara hakikat di atas Arsy dengan tidak tahu bagaima di atas arsysnya atau berbeda dengan mahluk sebagaimana pendapat Salafi Al Hambali, atau diartikan sebagai Allah menguasai Arsy sebagaimana jumhur ulama dari Sunni bahkan kaum mujasimah berpendapat bahwa Allah di atas arsy sebagimana manusia duduk di singgasana.
Dalam hadis nabi terdapat sebuah hadis yang bisa memicu perselisihan dan klaim akan kebenaran seperti hadis Nabi yang terkenal:
ألا إن من كان قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفرق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة
“Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari kalangan ahli kitab telah berpercah-belah menjadi 72 millah. Dan sesungguhnya umatku ini akan berpecah menjadi 73 millah; 72 di neraka dan 1 di surga, ia adalah Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud)
Hadis tersebut memicu klaim kebenaran satu kelompok dan menyesatkan kelompok lainnya.
Al-Qur’an dan hadis yang Dhoni dilalah inilah yang menjadikan berbeda pehaman, perbedaan pemahan tersebut dilatar belakangi oleh tingkat pengetahuannya atau lingkungan sosialnya.
Solusi Al-Ghozali dari Takfiri
Pengertian takfiri menurut Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdilah at-Tuwajiri (Pagar dan Saeful Akhyar Lubis:2019):
الحكم على الانسان بالكفر
“Menuduh (menghukum) sesorang dengan kafir.”
Takfiri dalam tulisan ini, takfiri sebagai alat terhadap tuduhan seorang muslim ke muslim lainnya tentang kekafiran walaupun belum tentu yang dituduh itu kafir.
Imam Al-Ghozali menulis kitab Faesol Tafriqoh baena Islam wa Zandaqoh, sebagai akibat dari tuduhan kafir kepada al_Ghozali dari kelompok lainnya, Al-Ghozali mencoba menjelaskan duduk permaslahan takfiri ini dengan diawali dengan hakikat iman dan kupur.
Untuk mengetahui hakikat kupur dan iman hati harus bersih dari ambisi kedudukan dan harta dunia kemudian berdikir, lalu berpikir yang benar dan jernih dan dihiasi dengan mengamalkan syariat. Tanpa itu semua maka orang tidak akan bisa mengetahui hakikat kupur dan iman (Ghozali: 2018:47)
Kupur menurut al-Ghozali (2018:54) adalah
تكذيب الرسول صلوات الله عليه في شيئ مما جاء به
“Membohongkan sesuatu yang didatangkan oleh Rosulullah SAW.”
Sedangkan iman adalah
تصديقه في جميع ما جاء به
”Membenarkan apa yang didatangkan oleh Nabi SAW.”
Dari definisi kufur dan iman dari al-Ghozali terutama iman menunjukan bahwa al-Ghozali meluaskan makna iman, sedangkan di masyarakat banyak yang mengartikan iman sebagai membenarkan dalam hati, diucapkan oleh lisan dan dikerjakan oleh anggota badan. Makna di masyarakat umum ini menjadikan makna iman sempit sehingga dapat dengan mudah mengkafirkan orang lain karena tidak melakukan salah satu yang disyaratkan oleh definisi di masyarakat umum itu seperti orang tidak sholat atau tidak puasa maka telah menjadi kapir. . Definis iman yang dikemukankan oleh al-Ghozali itu senada dengan definisi iman yang diungkapkan oleh Syekh Izudin bi Abdis Salam dalam kitabnya makna iman dan islam yaitu membenarkan dengan hati, sedangkan mengamalkan syariat seperti sholat tidak menjadi syarat sahnya iman pendapat itu sama dengan pendapat para jumhur ulama ahli sunnah wal jamaah (1995:9,11).
Luasnya makna iman yang diungkapkan oleh imam al-Ghozali menjadikan sesorang tidak mudah mengkafirkan yang lain dikarenakan tidak mengamalkan satu kewajiban dalam islam, atau ada orang yang melakukan dosa besar.
Makna dari membenarkan yang dibawa oleh nabi adalah mengakui bahwasanya berita dari Nabi itu ADA (wujud). Imam al-Ghozali memberikan penjelasan tentang ADA (wujud) dengan memberikan tingkat wujud ini (2018:57-60):
- Wujud esensi (hakikat) yaitu wujud hakiki yang ada diluar perasaan dan akal atau wujud lahir seperti di depan mata kita terlihat jam tangan atau berita Nabi adanya Arsy, kursi.
- Wujud Inderawi (hissi): wujud yang tergambar di mata sebagai kekuatan penglihatan dari sesuatu yang di luar mata itu tidak terwujud. Seperti kita melihat gedung di layar televisi, kita bisa lihat tapi kita tidak bisa dipegang.
- Wujud khoyali yaitu gambaran dari objek-objek indera itu diwaktu ia menghilangdari indera kita. Seperti jam tangan tadinya di depan mata kita kemudian jam tangan itu disembunyikan, tetapi gambaran jam tangan itu masih tergambar oleh kita.
- Wujud Rasional (ra’yi) yaitu apabila suatu wujud mempunnyai hakikat, dan makna. Wujud ini akal ini merupakn konsep suatu yang ada. Seperti Allah punya tangan tentu akal menolak maka maksudnya adalah kekuasaan.
- Wujud Metafor (Syibhi) yaitu wujud yang bukan sebenarnya hanya menyerupai atau menganalogikan sesuatu. Seperti Allah marah. Marah merupakan mendidihnya darah dalam hati, dan itu mustahil bagi Allah baik secara akal, khoyali, hissi apalagi hakiki maka Allah marah maksunya Allah mempunyai kehendak untuk membalas. Marah ahirnya menyakiti dan kehendak membalas pada ahirnya menyakiti juga
Al-Ghozali membagi wujud kepada lima tingkatan untuk memframing dari setiap pendapat golongan tentang berita yang dibawa oleh Nabi baik al-Qur’an atapun hadis, selama masih dalam batasan wujud yang lima maka sesorang itu tidak keluar dari Islam atau menjadi kapir.contoh Salafi Hambali memahami ayat Allah ada di atas Arsy dengan pandangan bahwa Allah memang ada di atas Arsy walaupun tidak serupa dengan mahluk, pandangan ini termasuk kepada wujud hakiki. Sedangkan Muktazilah ataupun Asy’ary berpandangan Allah menguasai Arsy pandangan ini termasuk kepada wujud akli. Maka dengan demikian kelompok-kelompok tersebut masih dalam mukmin.
Pandangan Imam Ghozali tentang hakikat iman juga lima macam wujud ini maka kita tidak akan mudah mengkafirkan kepada golongan lain batas-batasan ini kita dapat menimbang serta meneliti kepada golongan yang berbeda pendapat terutama dalam masalah teologi. Harun Nasution (1986:35-36) berpendapat perbedaan-perbedaan mazhab serta alirana-liran masih dalam katagori Islam karena mereka berbeda dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis dalam zhoni dilalah namun aliran-aliran itu tentu bukanlah yang ekstrim tetapi aliran-aliran yang moderat.
Majelis Ulama Indonesia Pusat memberikan aturan penyebab kekafiran serta prosedur pengkafiran (Pagar dan Saeful Akhyar Lubis:2019): Pertama, akidah yang menyimpang seperti tidak menyakini rukun iman dan ajaran Islam yang Qothiy. Kedua, ucapan yang menimbulkan kekafiran. Ketiga, perbuatan yang nyata-nyata perbuatan kafir yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Adapun prosedur: Pertama, harus diverivikasi dan validasi penyebab kekafiran. Kedua, harus dilakukan secara hati-hati. Ketiga, sedapat mungkin tidak melakukan kekafiran individual. Keempat, vonis kekafiran harus dilakukan oleh komunitas ulama yang kompeten.