“Ketika masuk bulan ramadhan, maka pintu surga dibuka,
sebaliknya pintu neraka ditutup, dan syetanpun dijerat tak bergerak.”
Penggalan hadits di atas merupakan potret bulan Ramadhan yang dipenuhi oleh suasana kondusif. Suatu kondisi yang benar-benar terbebas dari segala macam aktivitas negatif yang dilakukan manusia. Puasa adalah imsak, mencegah, serta menghentikan segala bentuk aktivitas negatif (ma’shiyat), sebaliknya puasa harus memperbanyak perbuatan baik (amal shaleh). Sehingga di bulan Ramadhan benar-benar terkondisikan, seperti apa yang disabdakan Rasulullah SAW di atas.
Kandungan hadits ini sebenarnya sangat metaforis. Makanya tak mengherankan kalau ada orang yang mengatakan “kalaulah semua setan di belenggu, tapi mengapa tetap saja terjadi kejahatan dan kemaksiatan?” Dalam ranah inilah, pendapat Al-Ghazali dalam kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din, menarik untuk dikaji. Menurutnya, syetan itu laten dan ada dalam diri setiap manusia. Kalimat ini mengandung makna bahwa syetan pada hakekatnya termasuk potensi dalam diri manusia. Karena itu syetan tidak terpisah dari manusia. Dan, suasana Ramadhan akan bisa terasa indah, manakala manusia bisa membakar, mengendalikan dan menahan (al-imsaak) “bahaya laten” dalam dirinya sendiri, termasuk menahan diri untuk tidak rakus dengan kekuasaan.
Terlebih dibulan suci ini Bangsa Indonesia baru saja selesai merayakan “pesta demokrasi” untuk memilih pemimpin pilihan rakyat. Seharusnya semua kubu yang berkompetisi bisa mengendalikan dan membakar “bahaya laten” ini dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal negatif seperti saling menjelekkan yang menjurus kepada fitnah sehingga akan menodai kesucian bulan Ramadhan. Kita yakin ketiganya adalah kader terbaik bangsa yang ber-fastabiqul khoirot untuk membangun bangsa. Maka semuanya harus menahan diri dengan mengedepankan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah.
Ukhuwah Islamiyah sebagai wujud persaudaraan sesama muslim, ukhuwah wathoniyah yang menggambarkan persaudaraan sebangsa dan setanah air, dan ukhuwah basyariyah merepresantasikan persaudaraan atas dasar kemanusiaan harus dikedepankan karena kehidupan umat yang dicita-citakan oleh Islam ialah satu umat yang hidup dalam kerukunan, sejahtera, damai dan kompak seperti satu tubuh (ka al-jasadi al-waahid). Banyak anjuran yang termuat dalam sumber ajaran Islam yang menghendaki agar umat bersatu, bersandar dalam kebersamaan, bermusyawarah yang berasaskan persamaan, keadilan dan kebenaran, saling menasehati, saling tolong-menolong dan sebagainya. Kehidupan seperti ini pernah terwujud dalam kehidupan generasi pertama dalam masa dakwah Islamiah (zaman Nabi).
Pada waktu Nabi Muhammad saw mulai membangun masyarakat muslim di Madinah, maka ukhuwah ini menjadi salah satu pilar pembangunan umat yang sangat penting. Puncak hubungan sosial ini dapat digambarkan dalam masyarakat Islam yang pertama yaitu persaudaraan kaum Anshor dan Muhajirin, kemudian membuat Piagam Madinah bersama golongan Yahudi dan Nasrani yang dibangun atas dasar cinta yaitu ikatan hidup yang mengikat masyarakat bagaikan satu bangunan yang kokoh.
Persaudaraan mereka bukan hanya sekedar kolektif, tetapi juga secara individual (semacam saudara) sehingga diantara mereka dapat saling mewarisi. Disamping antara mereka terbentuk solidaritas sosial yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Mereka telah mengaplikasikan nilai-nilai yang tinggi itu (ukhuwah) sehingga mereka dapat mencapai menara gading kegemilangan dan kesempurnaan.
Seorang mukmin haruslah menyadari dan memahami makna tentang persaudaraan ini, sehingga mengakui orang mukmin lainnya sebagai saudaranya. Dari sini akan timbul kerja sama dan gotong royong sehingga terciptalah suatu masyarakat yang serasi dan harmonis yang pada gilirannya akan terbentuk suatu masyarakat yang ideal, yaitu sosok masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas sosial yang tinggi, rasa persaudaraan yang solid antar sesama anak bangsa. Sehingga terjalin cinta, semangat gotong royong dan kebersamaan yang tinggi.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Ibda’ binafsika. Mulailah dari diri kita, dengan diri kita, bagi diri kita. Bukankah Allah swt. telah berfirman: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah, 44).
Oleh karena itu, sebagai umat tauhid yang selalu berusaha menebarkan kebajikan, kedamaian, dan keselamatan kepada seluruh umat manusia, sudah selayaknya kita memulai dari diri kita untuk membuka diri, bermurah hati, memberikan penghormatan dan penghargaan, menebarkan senyum perdamaian dan persaudaraan yang tulus ikhlas, berdialog dan berbagi pengalaman dengan kelompok lain. Dari sinilah makna kehadiran Islam sebagai rahmatan lil alamin akan terwujud dan tidak hanya menjadi slogan kosong.
Pada akhirnya, Ramadhan dengan pendekatan semacam ini, memang menjadi momentum penebar kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Agar di benak manusia tidak lagi tumbuh kesan egoisme, yang menempatkan nafsu sebagai ‘berhala’. Tapi yang tumbuh adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan, sehingga melalui puasa manusia bisa mewujudkan tatanan, sistem, dan struktur kehidupan yang lebih baik, dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang kita cintai. Wallahu a’lam bi al-shawab