ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَبَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ – إِلَى كَرَاهَةِ تَغْمِيضِ الْعَيْنَيْنِ فِي الصَّلاَةِ لِقَوْل النَّبِيِّ : إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلاَ يُغْمِضُ عَيْنَيْهِ.
Mayoritas Ulama Fiqh (Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iiyyah) menilai makruhnya shalat dengan memejamkan kedua mata berdasarkan sabda Nabi saw: “Bila salah seorang diantara kalian berdiri menjalankan shalat, maka janganlah memejamkan kedua matanya”.
وَاحْتَجَّ لَهُ – أَيْضًا – بِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُودِ ، وَمَظِنَّةُ النَّوْمِ . وَعَلَّل فِي الْبَدَائِعِ : بِأَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَرْمِيَ بِبَصَرِهِ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ وَفِي التَّغْمِيضِ تَرْكُهَا . وَالْكَرَاهَةُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ تَنْزِيهِيَّةٌ .
Alasan kemakruhan diatas karena disinyalir memejamkan mata saat ibadah merupakan perbuatan orang-orang Yahudi, dapat kebablasan ketiduran dan disebutkan dalam kitab al-Badaa-I’, bahwa yang sunah adalah mengarahkan pandangan pada tempat sujudnya dan dengan terpejam berarti meninggalkannya. Kemakruhannya menurut kalangan Hanafiyyah tergolong MAKRUH TANZIIH
وَاسْتَثْنَوْا مِنْ ذَلِكَ التَّغْمِيضَ لِكَمَال الْخُشُوعِ ، بِأَنْ خَافَ فَوْتَ الْخُشُوعِ بِسَبَبِ رُؤْيَةِ مَا يُفَرِّقُ الْخَاطِرَ فَلاَ يُكْرَهُ حِينَئِذٍ ، بَل قَال بَعْضُهُمْ : إِنَّهُ الأَْوْلَى . قَال ابْنُ عَابِدِينَ : وَلَيْسَ بِبَعِيدٍ .
Dikecualikan dari ketentuan diatas memejamkan mata untuk menggapai sempurnanya kekhusyuan, dalam arti mengkhawatirkan hilangnya kekhusyuan saat matanya terbuka sebab melihat hal-hal yang dapat mencerai beraikan konsentrasi maka yang demikian tidak lagi makruh hukumnya bahkan sebagian ulama fiqh mengisyaratkan memejamkan mata dalam kondisi semacam ini justru lebih baik, Ibn ‘Abidin berkata “Hal demikian tidaklah jauh (dari kebenaran)”.
قَال الْمَالِكِيَّةُ : وَمَحَل كَرَاهَةِ التَّغْمِيضِ مَا لَمْ يَخَفِ النَّظَرَ لِمُحَرَّمٍ ، أَوْ يَكُونُ فَتْحُ بَصَرِهِ يُشَوِّشُهُ ، وَإِلاَّ فَلاَ يُكْرَهُ التَّغْمِيضُ حِينَئِذٍ .
Kalangan Malikiyyah berpendapat : Kemakruhan memejamkan mata tersebut bila tidak dikhawatirkan saat matanya terbuka akan melihat hal-hal yang haram atau mengacaukan kekhusyuannya bila demikian maka memejamkan mata baginya tidak lagi dimakruhkan.
وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ : أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ – أَيْ تَغْمِيضُ الْعَيْنَيْنِ – إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْهُ ضَرَرًا عَلَى نَفْسِهِ ، أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ خَافَ مِنْهُ ضَرَرًا كُرِهَ
Imam an-Nawawi cenderung memilih “Memejamkan mata saat shalat tidaklah makruh bila tidak dikhawatirkan berdampak dharar (bahaya) dalam dirinya atau orang lainnya, bila dikhawatirkan maka makruh.”
Pustaka: Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah 27/105