Hakikat Idul Fitri
Idul fitri sering diartikan kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Pada hari itulah umat Islam merayakan kemenangan melawan hawa nafsu. Selama satu bulan penuh umat Islam berusaha tidak hanya melawan nafsu badaniah seperti makan, minum dan kebutuhan badan lainnya, tetapi terutama berusaha untuk menghindari segala macam perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sehingga begitu keluar dari bulan Ramadhan, umat Islam tak ubahnya seperti dilahirkan kembali, nabi mengilustrasikan kayaumin waladathu ummuhu, seperti bayi yang baru lahir, kembali ke fitrah, kesucian.
Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita menyikapi datangnya Idul Fitri. Sudah benarkah cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan pemikiran dan muhasabah kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri.
Idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran sering dipelesetkan menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula tadarusnya, bubar shodaqohnya dan seterusnya. Artinya selesai Ramadhan-nya berarti selesai pula ketaatannya. Sebetulnya jika benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala amaliah istimewanya adalah salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan penghapusan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita selama ini. Sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Membentuk Manusia yang Peduli
Salah satu bentuk amaliyah yang dianjurkan di bulan Ramadhan ini adalah kepedulian terhadap sesama yang secara psikologis kepedulian tersebut merupakan wujud rasa simpati, rasa senasib dan sepenanggungan sesama muslim. Semangat berbagi dan spirit memberi melalui sunnah berinfak dan bersedekah serta kewajiban berzakat, begitu indah menghiasi hari-hari penuh peduli sepanjang bulan Ramadhan. Dan itu semua tidak lain dalam rangka meniru dan menauladani Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang paling dermawan, lebih-lebih pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘alaihis salam menemuinya, dan adalah Jibril ‘alaihis salam mendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, untuk bertadarus Al-Qur’an dengan beliau. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih dermawan dengan kebajikan daripada angin yang bertiup (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kepedulian kepada sesama merupakan salah satu bentuk ajaran Islam tentang kedermawanan atau filantropi. Di dalam doktrin Islam, orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap anak yatim, fakir-miskin, dan kaum duafa lainnya, misalnya, dikategorikan dan dimasukkan sebagai pendusta agama. Allah mempertegas dalam ayat Al-Quran (QS Al-Ma’un, 107: 1-7) yang artinya; “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” Jadi, pendusta agama adalah orang yang rajin mendirikan salat dan taat menjalankan ibadah-ibadah wajib, namun tidak memiliki perilaku sosial yang baik terhadap sesama manusia.
Kepedulian sesama ini bukan hanya melatih kita untuk mengasihi sesama, lebih dari itu, pada ranah tertentu, akan meningkatkan taraf ekonomi kaum mustadh’afin. Sehingga tidak ada lagi kesenjangan yang cukup dalam antara the have dengan the have not, menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran surat al-Hasyr Ayat 7: “Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”.
Kewajiban kita sekarang, di hari fitri ini, adalah menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan semangat berbagi dan karakter memberi sebagai bukti taqwa kita. Karena keberhasilan riyadhoh amaliyah bulan ramadhan ditentukan keistiqamahan kita pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya. Sungguh bijak seorang penyair Arab yang berkata: Laisa al-‘iidu man labisa al-jadid Walakin al-‘iid man tho’atuhu taziid. Hari Raya bukanlah ditandai dengan pakaian baru, tetapi hakikat hari raya adalah siapa yang ketaatannya bertambah maju.
Maka mari kita jaga dan pertahankan hikmah kepedulian ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu. Karena puasa bukanlah sekedar menunaikan rukun formal, tetapi dalam konteks yang lebih luas, puasa merupakan upaya pengendalian diri dari seluruh kecenderungan sifat dan perilaku yang negatif untuk mewujudkan insan muttaqin, sosok manusia paripurna.